ASAHAN – Keributan tak terhindarkan dari kelompok masyarakat yang mengatasnamakan ahli waris lahan di perkebunan Kuala Piasa, Desa Piasa Ulu, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara pada Jumat (17/10/2025). Usai puluhan petugas keamanan kebun PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (PT BSP) bongkar bangunan di area kawasan tersebut.
Diketahui, kelompok masyarakat sejak tiga bulan terakhir telah membangun barak di kawasan kebun tersebut. Sempat terjadi kericuhan adu mulut dan saling dorong antara masyarakat dan petugas kebun saat bangunan barak mereka hendak dirubuhkan.
Area Manager PT BSP Kisaran, Raju Wardhana saat dikonfirmasi mengatakan penertiban tersebut terpaksa dilakukan pihaknya setelah beberapa pekan mereka tidak dapat melakukan panen karena para pekerja tidak bisa bekerja karena terganggu oleh aktivitas masyarakat di lahan tersebut.
“Kegiatan hari ini kita mengawal panen karena sudah empat rotasi (satu bulan) tidak beraktifitas. Perusahaan terpaksa menertibkan penggarap yanh sebelumnya melakukan blokade ke lokasi lahan dan mendirikan barak,” ucap Raju.
Terkait isu izin HGU PT BSP telah berakhir dan perusahaan memiliki tunggakan pajak hingga Rp150 miliar, Yudha Andriko, selaku Manager HV & Comdev PT BSP Kisaran membantah tegas informasi tersebut.
“Itu tidak benar dan tidak relevan dengan konteks sengketa. HGU kami sah dan proses pembaruan sedang berjalan di Kementerian ATR/BPN sejak 2020 sesuai prosedur,” terang Yudha.
Yudha menegaskan bahwa PT BSP adalah pemilik sah lahan tersebut berdasarkan keputusan negara. Klaim dari kelompok penggarap yang menyebut sebagai ahli waris atas lahan berdasarkan SKT Nomor 37 Tahun 1934 dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat.
“Mereka sudah bikin blokade pagar agar kami tidak masuk dan melarang kami melakukan operasional teknis perkebunan kegiatan panen. Sehingga kami mengalami kerugian dan berdampak pada pekerja,” kata Yudha.
Sementara itu, masyarakat mengklaim lahan tersebut 300 hektar berdasarkan dasar SKT Nomor 37 Tahun 1934 yang dimiliki dan daerah tersebut merupakan milik ahli waris, dan mengklaim telah membayar pajak bukti kawasan tersebut kepunyaan mereka.
“Kami akan bertahan di sini, ini tanah kelahiran kami atau disebut tanah opung kami kalau bahasa bataknya. Untuk kelengkapan surat-surat semua kami punya pengacara,” kata Mawardi Manurung, masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris lahan tersebut. (Atv2)
